Enter your keyword

Peluncuran Buku ‘Dari Sunda Menuju Banten’ Banjir Apresiasi

Peluncuran Buku ‘Dari Sunda Menuju Banten’ Banjir Apresiasi

Peluncuran Buku ‘Dari Sunda Menuju Banten’ Banjir Apresiasi

[:id]Diskusi Senja di Untirta kembali berlangsung di Anak Sultan Coffee, Kampus A Untirta, Pakupatan, Kota Serang, Selasa (23/3/2021), dengan meluncurkan dan membedah buku ‘Dari Sunda Menuju Banten’ karya Ali Fadillah yang baru diterbitkan oleh Untirta Press. Pada kegiatan yang terjalin kerja sama antara Untirta Press dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Banten ini, dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Sistem Informasi, Penguatan Kemitraan dan Layanan Industri, Aceng Hasani, Kabid Deposit, Pengembangan Koleksi dan Kerja Sama Perpustakaan pada DPK Provinsi Banten, Evi Syaefudin, Koordinator JF Bidang Kerja Sama dan Humas Untirta, Veronika Dian faradisa dan narasumber dari akademisi Untirta/sosiolog Suwaib Amiruddin, arkeolog dari Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Banten, Juliadi dan tentunya penulis buku ‘Dari Sunda Menuju Banten, Ali Fadillah.


Pada momen diskusi ini, dari Untirta Press, Firman Hadiansyah mengatakan, apa yang sudah ditulis oleh Ali Fadillah yang kurang lebih menghabiskan waktu selama 30 tahun dengan mengumpulkan satu persatu tulisan, baik di media, jurnal, dan hasil penelitian adalah pencapaian yang luar biasa. Ia menuturkan, konsistensi yang dilakukan oleh penulis patut ditiru oleh generasi muda saat ini.

“Melihat ke belakang, tidak terasa jadi buku ini walaupun dicetaknya baru sekarang tetapi prosesnya itu selama 30 tahun. jadi kami sangat menghormati hasil intelektual itu dan ketika Pak Ali datang menawarkan naskah ini, saya dengan rasa malu dan rendah diri bahwa Untirta Press siap menerbitkan buku ini. Buku ini adalah artefak literer dan juga artefak dari Provinsi Banten karena judulnya sangat provokatif. Emang Banten bukan Sunda? Banyak pertanyaan yang seperti ini muncul akhir-akhir ini,” tuturnya.

Evi mengamini hal tersebut, menurutnya judul yang dipilih oleh penulis sangat provokatif, dan justru inilah yang menurutnya buku ini harus terus digaungkan.

”Akhirnya kami menghubungi tim Untirta Press dan jadilah diskusi ini. Selebihnya, terima kasih kepada teman-teman yang mendukung kegiatan ini, semoga ini menjadi pelecut dalam meningkatkan dunia perbukuan di Banten,” ujarnya.

Sementara itu, Aceng Hasani mengatakan, kegiatan diskusi senja adalah sesuatu inovasi yang perlu dicontoh karena terus berkembang dari hari ke hari. “Saya mengapresiasi sekali kegiatan ini. Pak Firman ini punya gagasan luar biasa dalam diskusi senja ini. Ini berkembang terus, kemudian kami berpikir ini harus mendapatkan tempat lebih luas, menarik, dan baik. Dengan kondisi ini saja sudah ada bedah buku, apalagi dengan kondisi yang lebih baik. Hal ini selaras dengan prestasi Untirta yang terus meningkat, baik dari sisi akademis maupun dari segi infrastruktur,” katanya saat menyampaikan sambutan.

Diskusi Buku

Dalam diskusi buku ‘Dari Sunda Menuju Banten’ banyak hal yang disampaikan oleh Suwaib dan Juliadi sebagai pembedah. Suwaib menuturkan, buku ini bisa menjadi acuan bahwa buku ini bisa masuk dalam tiga aspek sejarah, budaya dan sosiologi-antropolgi dan bisa menjadi bahan ajar di kampus untuk jurusan masing-masing tersebut.

“Buku ini seharusnya masuk di dunia dunia kampus. Jadi sebetulnya bisa dimasukkan di fakultas-fakultas yang ada tiga jurusan tersebut,” ujarnya.

Suwaib menambahkan, buku ini tidak bisa diukur dengan kuantitatif dan kualitatif, tetapi ada satu penelitian yang dilakukan oleh antropolog yakni dilakukan dengan cara penelitian etnografi. “Yang sangat menarik dari buku ini adalah saya baru mendapatkan namanya itu trilogi sosial, yang pertama itu sangat religius, kedua punya kesatuan teritorial wilayah, dan segi dasar ekonominya itu agraris,” katanya.

Sementara itu Juliadi mengatakan temuan-temuan arkeologi di Banten cukup banyak, namun kajiannya baru tahap deskriptif kecuali di Banten Lama sudah sering diteliti dan diinterpretasi.

“Membedakan etnisitas di Banten sering dibedakan dengan penggunaan bahasa, Bahasa Sunda di daerah Selatan dan Bahasa Jawa di daerah utara. Padahal jika merunut data arkeologi yang ada terbuka peluang untuk dilakukan kajian dan interpretasi terhadap budaya masa lalu Banten, seperti di Banten Lama ditemukan lapisan budaya sebelum masa Kesultanan Banten berupa temuan arca Nandi dan batu yang diduga dulu sebagai Yoni,” katanya.(*)

 

 [:en]Diskusi Senja di Untirta kembali berlangsung di Anak Sultan Coffee, Kampus A Untirta, Pakupatan, Kota Serang, Selasa (23/3/2021), dengan meluncurkan dan membedah buku ‘Dari Sunda Menuju Banten’ karya Ali Fadillah yang baru diterbitkan oleh Untirta Press. Pada kegiatan yang terjalin kerja sama antara Untirta Press dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Banten ini, dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Sistem Informasi, Penguatan Kemitraan dan Layanan Industri, Aceng Hasani, Kabid Deposit, Pengembangan Koleksi dan Kerja Sama Perpustakaan pada DPK Provinsi Banten, Evi Syaefudin, Koordinator JF Bidang Kerja Sama dan Humas Untirta, Veronika Dian faradisa dan narasumber dari akademisi Untirta/sosiolog Suwaib Amiruddin, arkeolog dari Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Banten, Juliadi dan tentunya penulis buku ‘Dari Sunda Menuju Banten, Ali Fadillah.


Pada momen diskusi ini, dari Untirta Press, Firman Hadiansyah mengatakan, apa yang sudah ditulis oleh Ali Fadillah yang kurang lebih menghabiskan waktu selama 30 tahun dengan mengumpulkan satu persatu tulisan, baik di media, jurnal, dan hasil penelitian adalah pencapaian yang luar biasa. Ia menuturkan, konsistensi yang dilakukan oleh penulis patut ditiru oleh generasi muda saat ini.

“Melihat ke belakang, tidak terasa jadi buku ini walaupun dicetaknya baru sekarang tetapi prosesnya itu selama 30 tahun. jadi kami sangat menghormati hasil intelektual itu dan ketika Pak Ali datang menawarkan naskah ini, saya dengan rasa malu dan rendah diri bahwa Untirta Press siap menerbitkan buku ini. Buku ini adalah artefak literer dan juga artefak dari Provinsi Banten karena judulnya sangat provokatif. Emang Banten bukan Sunda? Banyak pertanyaan yang seperti ini muncul akhir-akhir ini,” tuturnya.

Evi mengamini hal tersebut, menurutnya judul yang dipilih oleh penulis sangat provokatif, dan justru inilah yang menurutnya buku ini harus terus digaungkan.

”Akhirnya kami menghubungi tim Untirta Press dan jadilah diskusi ini. Selebihnya, terima kasih kepada teman-teman yang mendukung kegiatan ini, semoga ini menjadi pelecut dalam meningkatkan dunia perbukuan di Banten,” ujarnya.

Sementara itu, Aceng Hasani mengatakan, kegiatan diskusi senja adalah sesuatu inovasi yang perlu dicontoh karena terus berkembang dari hari ke hari. “Saya mengapresiasi sekali kegiatan ini. Pak Firman ini punya gagasan luar biasa dalam diskusi senja ini. Ini berkembang terus, kemudian kami berpikir ini harus mendapatkan tempat lebih luas, menarik, dan baik. Dengan kondisi ini saja sudah ada bedah buku, apalagi dengan kondisi yang lebih baik. Hal ini selaras dengan prestasi Untirta yang terus meningkat, baik dari sisi akademis maupun dari segi infrastruktur,” katanya saat menyampaikan sambutan.

Diskusi Buku

Dalam diskusi buku ‘Dari Sunda Menuju Banten’ banyak hal yang disampaikan oleh Suwaib dan Juliadi sebagai pembedah. Suwaib menuturkan, buku ini bisa menjadi acuan bahwa buku ini bisa masuk dalam tiga aspek sejarah, budaya dan sosiologi-antropolgi dan bisa menjadi bahan ajar di kampus untuk jurusan masing-masing tersebut.

“Buku ini seharusnya masuk di dunia dunia kampus. Jadi sebetulnya bisa dimasukkan di fakultas-fakultas yang ada tiga jurusan tersebut,” ujarnya.

Suwaib menambahkan, buku ini tidak bisa diukur dengan kuantitatif dan kualitatif, tetapi ada satu penelitian yang dilakukan oleh antropolog yakni dilakukan dengan cara penelitian etnografi. “Yang sangat menarik dari buku ini adalah saya baru mendapatkan namanya itu trilogi sosial, yang pertama itu sangat religius, kedua punya kesatuan teritorial wilayah, dan segi dasar ekonominya itu agraris,” katanya.

Sementara itu Juliadi mengatakan temuan-temuan arkeologi di Banten cukup banyak, namun kajiannya baru tahap deskriptif kecuali di Banten Lama sudah sering diteliti dan diinterpretasi.

“Membedakan etnisitas di Banten sering dibedakan dengan penggunaan bahasa, Bahasa Sunda di daerah Selatan dan Bahasa Jawa di daerah utara. Padahal jika merunut data arkeologi yang ada terbuka peluang untuk dilakukan kajian dan interpretasi terhadap budaya masa lalu Banten, seperti di Banten Lama ditemukan lapisan budaya sebelum masa Kesultanan Banten berupa temuan arca Nandi dan batu yang diduga dulu sebagai Yoni,” katanya.(*)

 

 [:]