Amplifikasi Sang Jubir Prabowo
Amplifikasi Sang Jubir Prabowo*)
Firman Hadiansyah**)
Juru bicara adalah orang yang memiliki kepiawaian dalam bertutur. Ia tidak hanya menjadi representasi pada apa yang diwakilinya, tetapi menjadi orang yang dipercaya dan dapat diandalkan. Maka dalam momen-momen krusial, juru bicara diposisikan sebagai orang yang serba awal mengetahui apa yang direpresentasikan itu. Ia menjadi “penyambung lidah” (meminjam istilah Soekarno) seseorang kepada publik.
Maka, menjadi seorang Juru Bicara adalah usaha membenamkan subyek diri dan mengganti dengan subyek lain. Pada posisi ini, tidak semua orang piawai melakukannya. Mengingat ia bicara atas nama orang lain, kehati-hatian, daya nalar dan cara berkomunikasi kepada publik menjadi licence yang hanya dimiliki oleh orang-orang pilihan.
Dahnil Anzar Simanjuntak adalah salah satu orang-orang pilihan tersebut. Di televisi, kita melihat gaya berbicaranya yang begitu tenang dan tidak menggebu-gebu tetapi tetap bisa mengungguli lawan debatnya. Mungkin disitulah kelebihan Dahnil Anzar yang membuat Prabowo Subianto meminangnya sebagai Juru Bicara.
Predikat Juru Bicara, pertama kali disematkan kepada Dahnil Anzar Simanjuntak pada momentum Pemilihan Presiden 2018. Waktu itu ia didapuk menjadi Juru Bicara Prabowo-Sandi. Ketika Prabowo menjadi Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak menjadi Staf Khusus/ Juru Bicara Menteri Pertahanan bidang Komunikasi Publik, Sosial Ekonomi dan Hubungan Antarlembaga. Hari ini, ketika Prabowo memenangkan Pemilihan Presiden dan tinggal menunggu waktu dilantik pada 20 Oktober 2024, apakah Dahnil Anzar Simanjuntak kembali dipercaya menjadi Juru Bicara Presiden ataukah mendapatkan amanah lain? Silakan tanya langsung kepada Sang Jubir.
Atas Nama
Bertindak (berbicara) atas nama orang lain, seperti yang saya kemukakan di atas, merupakan sebuah situasi dan negosiasi antara representasi dan agensi. Sebagai Juru Bicara, Dahnil Anzar Simanjuntak adalah agensi yang merepresentasikan Prabowo. Pada tahap ini, penting untuk memahami kembali penjelasan Alexander Edlich dan Jonas Vandieken dalam artikel berjudul “Acting on Behalf of Another” yang dimuat pada Canadian Journal of Philosophy (2022). Mereka menuliskan bahwa juru bicara adalah agen proxy. “Mereka bicara atas nama orang yang mereka wakili dan pertanyaan-pertanyaan diarahkan kepada juru bicara dan bukan kepada orang-orang yang mereka ajak bicara…Proxy bertindak atas nama yang diwakili dan dengan demikian sebagian secara normatif menggantikannya—kewajiban untuk menjawab pertanyaan dialihkan ke juru bicara, seperti halnya menolak pertanyaan tertentu.”
Kutipan di atas akan betul-betul terjadi ketika berada pada ruang lingkup normatif. Dahnil Anzar Simanjuntak bisa mewakili dan bertindak atas nama orang yang diwakilinya yaitu Prabowo pada batas-batas tertentu dan sesuai dengan domain yang disepakati di antara keduanya. Di Indonesia, contoh konkret perwakilan normatif biasanya terjadi ketika kita mengundang seorang kepala instansi tersebut tetapi diwakili oleh bawahannya untuk membacakan sambutan. Bedanya Juru Bicara bersifat lebih melekat dibandingan contoh tadi yang hanya insidental dan berhenti pada kegiatan tertentu.
Kondisi inilah yang kemudian memantik ingatan saya pada awal-awal mengenal Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai subyek individu. Selain sebagai aktivis Muhammadiyah, saya mengenal Dahnil sebagai dosen di Fakultas Ekonomi Sultan Ageng Tirtayasa. Ia dikenal sebagai dosen yang cukup kritis dan berani bersuara baik di media massa bahkan langsung turun demo bersama mahasiswa. Ia juga dikenal sebagai penulis buku seperti Akrobat Pembangunan (2011), Dinasti Rente (2014), Nalar Politik Rente (2018), dan seterusnya. Keberaniannya untuk keluar dari ASN dan terlibat secara praktis ke dalam politik merupakan salah satu keputusan yang paling penting di dalam hidupnya. Cara berbicaranya yang tenang, sebetulnya tidak setenang kehidupannya yang penuh dengan gejolak, terutama ketika melihat problematika sosial dan situasi politik. Jadi ketika Dahnil Anzar menjadi Juru Bicara Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dan bisa profesional dan adaptif, jelas itu bukan perkara mudah. Apa lagi latar belakang keilmuan dengan pekerjaannya di Kementerian Pertahanan “memaksa” dirinya untuk belajar banyak.
Amplifikasi Melalui Buku
Lepas dari ingar bingar politik dan segala hal yang memabukkan dalam konteks kekuasaan,Dahnil Anzar Simanjuntak dengan latar belakangnya, rupanya tidak bisa melepaskan diri dari pengembangan ilmu pengetahuan. Melalui tulisannya, ia membekukan peristiwa dirinya yang bertugas di Kementerian Pertahanan, tentu dengan merujuk pada kebijakan Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan. Buku berjudul “Politik Pertahanan” yang berupa kumpulan artikel telah menjadi sebuah peristiwa literer yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Tidak hanya bagi orang-orang yang memiliki antusisasme pada ilmu dan praktisi di bidang Pertahanan, juga menjadi kontribusi yang menarik dari sisi literasi karena belum terlalu banyak buku yang mengamplifikasi politik pertahanan di Indonesia ini.
Di dalam beberapa tulisannya di buku ini, Dahnil mengingatkan kepada kita bahwa urusan pertahanan tidak hanya semata-mata menjadi urusan tentara dan pemerintah. Ia memaparkan bahwa pada kondisi dewasa ini, peran rakyat justru sangat vital. Pada buku ini, esai berjudul “Pertahanan Rakyat Semesta” menjadi pembuka. Artinya, Dahnil memahami betul bahwa bidang pertahanan modern dewasa ini justru lebih ditekankan pada ancaman nonmiliter di mana infiltrasi dari Negara lain “menjajah” dan “menaklukan” dengan cara yang baru sama sekali.
Buku ini juga menjelaskan tentang kebijakan pertahanan Era Prabowo termasuk dengan urusan pemodernan Alutsista yang dari sisi anggaran terus merangkak naik sesuai dengan kebutuhan pertahanan di negeri ini. Dahnil menjelaskan dengan pelbagai data mengapa kebutuhan di bidang pertahanan begitu mendesak untuk direalisasikan.
Hal lain yang juga tidak lepas dari kaca mata Dahnil perihal pertahanan adalah pertahanan kebudayaan. Ia mencontohkan negara Korea yang sukses menjadikan kebudayaan populer seperti film sebagai strategi kebudayaan. Menurutnya, Indonesia memiliki potensi kultural yang tidak kalah dengan Korea sehingga produk-produk kebudayaan menjadi bagian penting untuk menguatkan keindonesiaan kita.
Buku ini diakhiri dengan esai yang cukup reflektif berjudul “Milenial, Bela Negara dan Tradisi Baca” yang menyoroti generasi Indonesia dewasa ini yang masih perlu ditingkatkan daya baca, nalar ilmiah dan kekritisannya melalui literasi.
Buku Politik Pertahanan yang ditulis oleh seorang Juru Bicara ini tentu tidak semata-mata hadir sebagai amplifikasi terkait dengan keberhasilan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Andil yang tidak bisa dibantah adalah sebuah cita-cita ke depan yang dipresentasikan ulang melalui tulisan Dahnil Anzar agar Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan berkemajuan. ( Firman Hadiansyah**)
*) Dipresentasikan pada Pembahasan Buku “Politik Pertahanan” Karya Dahnil Anzar Simanjuntak di Perpusnas RI, 10 Oktober 2024
**) Kepala Perpustakaan Untirta, Dosen FKIP Untirta, Penerima Penghargaan Nugra Jasa Dharma Pustaloka 2024.